Memilih?
by : V

           Sejak kecil, aku ingin menjadi musisi. Ibu dan Ayah dulu tersenyum, selalu berkata bahwa mereka bangga anak perempuan satu-satunya punya cita-cita tinggi. Masih kecil imajinasinya sudah tinggi, begitu kata Ibu setiap kami datang ke acara keluarga. Aku selalu bersyukur memiliki kedua orang tua yang mendidik dengan saran dan apresiasi dibandingkan perintah. Sejak saat kecil ku sering berkeliling rumah dengan sepeda kecil, Ibu yang rajin mengejarku dengan ucapan lembutnyaBina, mandi dulu, biar nggak bau, nanti main sepedanya dilanjut lagi dan Bina pinter ya mau nurut sama Ibu. setiap aku berhasil melakukan sesuatu. Ayah dengan sekotak rokok di kantongnya yang selalu memberi saran untuk membantu Ibu di dapur selagi Ayah berdiskusi depan televisi dengan Abang.

           Aku ingin menjadi musisi sejak umurku 5 tahun, berlari-lari keliling rumah dengan sisir sebagai mikrofon. Ibu dan Ayah mengapresiasi cita-cita itu sampai umurku 15 tahun. Aku selalu berpikir bahwa Ibu dan Ayah termasuk orang tua yang suportif dan progresif. Bagaimana tidak, di tengah-tengah dunia globalisasi ini, Ibu dan Ayah sudah cukup baik membaur. Teknologi pun didalami mereka. Memang benar, kami hanya keluarga kecil yang tinggal di pinggiran kota dengan pendapatan bukan seberapa. Ayah dan Ibu selalu telaten mengikuti perkembangan. Namun, terkadang satu dua hal terjadi yang membuatku berpikir kembali. Sepeti hari itu, Sabtu dengan lagit cerah, Ayah memanggilku untuk bicara di meja makan kami. Definisi Bicara dengan Ayah di meja makan tidak pernah berarti suatu hal yang baik. Ayah melepas kacamatanya dan mengeluarkan napas panjang. Nampaknya Ayah selalu melakukan hal itu di depanku. Tidak depan Abang, Ayah selalu sangat bangga pada Abang yang berhasil masuk ke sekolah musik kesukaannya.

           Bina, kamu kan bentar lagi mau kuliah. Mulai sekarang coba kamu pikir-pikir lagi pilihan kamu. Apa yakin mau jadi musisi? Abangmu kan sudah menggeluti bidang itu, coba kamu cari opsi lain. Sayang kalau dua-dua anak Ayah dan Ibu sama-sama menggeluti bidang tersebut, apalagi kamu perempuan.

           Entah apa korelasinya dengan pokok pembahasan kami. Ayah selalu melakukan hal ini. Setiap kali Ayah tidak setuju dengan tindakanku, yang dilakukan adalah memanggilku ke meja makan dan membacakan paragraf argumentasinya yang selalu diakhiri dengan kalimat apalagi kamu perempuan.

           Yah tapi-

           Kamu coba pikirin lagi, kamu bisa saja sekolah biasa, nanti saat lulus bantu ibu jual makanan keliling komplek. Hitung-hitung latihan, Bina. Kamu kan belum pintar menata-nata rumah. Nanti susah nyari jodoh kalau tidak bisa hal-hal seperti itu, Ibu ikut menyaut.

           Itu kalimat kesukaan Ibu, setiap kali Ibu tidak setuju dengan tindakanku, tidak pernah sekali pun perkataan nanti susah nyari jodoh terlewatkan dalam ceramahnya. Bina nggak boleh jutek-jutek, nanti susah nyari jodoh atau Bina jadi perempuan jangan tinggi-tinggi penilaiannya terhadap orang lain, kalau ada yang deketin Bina, terima aja, kalau kebanyakan pilih nanti susah nyari jodoh atau Bina, kalau milih pakaian ikutin kata Ibu deh, cantik kok, nanti susah nyari jodoh kalau pakaiannya seperti ini.

           Bu-

           Coba dipikirkan dulu ya, Bina, dari nada bicaranya aku tahu perkataan Ibu yang sesungguhnya ingin diucapkan adalah ikhlaskan mimpimu ya, Bina. Ayah dan Ibu orang tua yang baik, penuh dengan ilmu dan saran. Hanya saja, saran keduanya merupakan kedok belaka dari perintah. Kapan aku bisa memilih? Aku ingin berteriak. Pada akhirnya, aku hanya bisa tersenyum tipis dengan kata baik yah, bu. Terkadang aku berpikir, aku tidak diciptakan untuk memilih.